RSBI dan SBI Sekolah Eksklusif akankah dihapus ?

MALANG - MI : Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh menyatakan di dunia pendidikan tidak boleh ada eksklusif yang didasarkan pada kekayaan terkait rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI).

"Tetapi kalau eksklusivitas atas dasar kemampuan akademik itu boleh," kata Mendiknas menjawab pertanyaan Media Indonesia soal RSBI usai melantik Rektor Universitas Brawijaya Yogi Sugito periode 2010-2014 di Kota Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/6).

Itu sebabnya untuk mengetahui apakah RSBI sekarang sudah berjalan dengan baik atau justru eksklusif didasarkan pada kekayaan dan status sosial orang tua siswa, maka pemerintah akan melakukan evaluasi. Empat parameter untuk mengevaluasi RSBI, antara lain, akuntabilitas, capaian akademik, proses rekrutmen, dan melihat persyaratan sumber daya manusia, dan sarana prasarana.

"Proses rekrutmen RSBI akan dilihat apakah menerapkan persyaratan akademik atau justru rekrutmen berdasarkan yang kaya diterima sedangkan yang miskin tidak diterima," tegasnya. Ia menegaskan, RSBI harus dilanjutkan karena amanah Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.

Ia menegaskan siswa dari keluarga miskin mendapatkan kesempatan yang sama untuk masuk RSBI dengan catatan berprestasi.Pada kesempatan itu Mendiknas mengomentari penggunaan istilah kasta baru di dunia pendidikan yang kerap digunakan akhir-akhir ini terkait RSBI.

Terdapat dua orang tua siswa mengaku minder ketika akan mendaftarkan anaknya masuk RSBI. Alasannya biaya pendidikan sekolah itu mahal. Warga Kecamatan Sukun dan Blimbing itu bekerja sebagai buruh pabrik. Karenanya, orang tua dari siswa berprestasi dengan nilai ujian nasional hampir mendekati 37,00 itu mengaku tidak sanggup membayar mahalnya SPP RSBI Rp250 ribu per bulan dan Sumbangan Biaya Penunjang Pendidikan (SBPP) Rp5 juta.

"Kedua warga yang mengadu itu mengatakan tidak punya uang bila disuruh membayar sebanyak itu. Akhirnya mereka memutuskan tidak mendaftarkan anaknya di RSBI," kata Koordinator Badan Pekerja Malang Corruption Watch Zia Ulhaq.

Koalisi Pendidikan mendesak Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) menghapus proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Pasalnya, proyek RSBI dan SBI rentan korupsi.

Hasil studi Koalisi Pendidikan terhadap RSBI dan SBI menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan RSBI dan SBI lemah pengawasan. Padahal proyek ini menelan anggaran pemerintah mencapai Rp200 juta per sekolah untuk SD, Rp300 juta per sekolah untuk SMP, Rp600 juta per sekolah untuk SMA, Rp100 juta per sekolah untuk SMK, dan Rp1 miliar hingga Rp2 miliar untuk SMK investasi.

Anggaran tersebut merupakan jumlah bantuan block grant untuk tahun 2010. Anggaran ini diperuntukkan bagi 1.172 RSBI dan SBI di Indonesia.

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyatakan kerentanan korupsi terjadi di tingkatan Kemendiknas maupun di sekolah. Kemendiknas melakukan pengelolaan untuk sosialisasi, pelatihan guru, dan pemantauan sekolah. Mereka melakukan pengalokasian anggaran dengan dengan standar mereka sendiri.

"Artinya ukuran pengalokasian anggaran hanya diketahui mereka secara detailnya. Ruang pengawasan semakin sempit," jelasnya ketika ditemui di kantor ICW, Jakarta, Minggu (20/6).

Sedangkan alokasi anggaran di sekolah dilakukan secara block grant. Kepala sekolah menentukan sendiri pengalokasian anggaran dan penggunaannya.

Hasil temuan Koalisi Pendidikan di lapangan menunjukkan merebaknya kwitansi palsu dalam penggunaan anggaran RSBI dan SBI. Bahkan kwitansi palsu tersebut melibatkan bagian tata usaha di sekolah.

"Ada stempel palsu. Ketika kami cek ke toko bersangkutan ternyata mereka tidak memberikan kwitansi tersebut," jelasnya.

Anggota Serikat Guru Tangerang Fadiloes Bahar mengaku bahwa di sekolahnya tempat mengajar penggunaan kwitansi palsu ini merupakan modus yang biasa dalam pembelanjaan anggaran pendidikan. Bahkan dalam pemanfaatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) modus ini juga dilakukan.

"Dalam pengadaan bola voli, misalnya, ketika Inspektorat Jenderal Kemendiknas akan melakukan kunjungan, tiba-tiba kami sudah memiliki bola voli di gudang. Tapi ketika sudah pergi, bola volinya ikut pergi," tegasnya.

Sebelumnya ICW menemukan dugaan korupsi dana block grant RSBI 2007 di SDN Kompleks Percontohan UNJ. Peneliti ICW Febri Henri menyatakan bahwa temuan korupsi ini dilakukan dengan pemalsuan kwitansi. Nilai dana block grant tersebut adalah Rp500 juta. Dengan potensi kerugian negara Rp151 juta.

Ia khawatir, korupsi yang sama juga dilakukan di sekolah lain. Karena hingga saat ini sekolah dan Kemendiknas sangat tertutup dalam memberikan informasi terkait pengelolaan anggaran.

"Kami sudah lapor kepada Menteri. Jika dalam 10 hari tidak ada respon, kami akan laporkan ke Presiden," ujarnya.

Pasalnya, selain anggaran subsidi, sekolah juga mengelola anggaran dari murid. Rata-rata pungutan bulanan untuk SD mencapai Rp200 ribu, Rp450 ribu untuk SMP, dan Rp500 ribu untuk SMA.

"Ini anggaran yang besar bagi orang tua. Dan rentan dikorupsi juga," tegasnya.

Anggota Aliansi Orang Tua Murid Pendidikan Peduli Pendidikan, Jummono, menyatakan bahwa selama ini orang tua murid tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi keuangan. Padahal dana yang disetor orang tua murid tidak kecil.

"Kami meminta BPK melakukan audit investigasi atas penggunaan dana ini. Karena selama ini, audit terhadap RSBI dan SBI tidak pernah dilakukan secara mendalam," ungkapnya.

Ade Irawan menambahkan, bobolnya pengelolaan oleh korupsi mengindikasikan bahwa sistem RSBI dan SBI ini hanya digunakan untuk menguras kantong orang tua murid. Ia menyatakan fakta ini menunjukkan bahwa konsep RSBI dan SBI telah gagal secara formil maupun materiil. "Kami mendesak proyek ini dihapuskajn saja," cetusnya. (AO/OL-3)

Komentar